Apa yang tersirat dalam benak Anda, jika mendengar kata batubara? Sebuah bongkahan batu hitam legam, atau Anda membayangkan kepulan asap hitam keluar dari cerobong, atau bayangan Anda tertuju kepada pegunungan yang hijau kemudian rusak akibat pengerukan batubara? Apa yang Anda bayangkan memang nyata terjadi, dan memang seperti itulah sifat batubara, hitam dan merusak. Saya ingin berbagi cerita mengenai dampak buruk yang diakibatkan oleh batubara berikut pengolahannya.
Indonesia mengalami kecanduan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil , terutama terhadap batubara, bahan bakar terkotor di muka bumi. Lebih dari 90% listrik yang dihasilkan di negeri ini berasal dari bahan bakar fosil, sepertiganya berasal dari batubara, dan sepertinya pemerintah tidak akan menghentikan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan bakar fosil ini dalam waktu dekat. Alih-alih, pemerintah Indonesia malah menganggap batubara sebagai obat mujarab untuk mengatasi permasalahan energi negeri ini, pemerintah justru terus membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di seluruh Indonesia. Pada tahun 2005, pemerintah meluncurkan proyek percepatan pembangunan PLTU 10000 MW Tahap I, yang keseluruhannya merupakan pembangkit listrik yang akan menggunakan bahan bakar batubara. Pemerintah menargetkan pada tahun 2030, batubara akan menyumbangkan separuh dari total listrik yang dihasilkan di negeri ini.
Batubara merupakan sumber energi yang paling kotor di planet ini, batubara juga merupakan penyumbang utama gas rumah kaca penyebab pemanasan global di dunia. Indonesia merupakan salah satu produsen utama batubara di dunia, saat ini Indonesia merupakan pengekspor batubara terbesar kedua di dunia setelah Australia. Tahun 2011, total produksi batubara Indonesia mencapai 350 juta ton, lebih dari 80% nya diekspor ke luar negeri.
Pulau Kalimantan merupakan penghasil utama batubara di Indonesia, lebih dari 70% produksi batubara negeri ini berasal dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Pengerukan batubara yang sangat massif di daerah tersebut meninggalkan jejak kerusakan yang maha dasyat, mulai dari lubang-lubang raksasa yang ditinggalkan begitu saja pasca batubaranya dikeruk habis oleh perusahaan tambang, sampai penggusuran masyarakat adat dari tanah yang telah mereka tinggali selama ratusan tahun. Batubara dari hulu ke hilir, menyisakan dampak yang buruk dan sulit untuk ditanggulangi. Jejak kerusakan batubara tidak berakhir di pertambangan, tetapi terus berlanjut selama perjalanannya, dalam proses pembakarannya di PLTU,batubara mengeluarkan polusi zat-zat beracun, mulai dari karbonmonoksida, mercury, sampai ke karbondioksida, gas rumah kaca penyebab pemanasan global itu. Akibatnya, kehidupan masyarakat yang tinggal disekitar PLTU, berubah pasca PLTU tersebut mulai dibangun dan semakin memburuk ketika PLTU tersebut mulai beroperasi.
Sebut saja masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Cirebon, mereka adalah saksi sekaligus korban. Betapa sejak proses pembangunannya, PLTU telah mengubah hidup mereka untuk selamanya, dimulai dari digusurnya ladang-ladang garam mereka di lokasi dimana PLTU kini berdiri angkuh, sampai hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan pinggiran pencari udang rebon , untuk bahan baku terasi. Sejak PLTU mulai dibangun, sejak itu pula berakhirlah era terasi Cirebon yang termasyur itu.
Setelah Cirebon, hal serupa menimpa Cilacap. Ketika saya berkunjung ke daerah ini, penduduk Cilacap menceritakan kisah yang lebih tragis tentang jejak kehancuran yang disebabkan oleh batubara. Sejak PLTU Karang Kadri Cilacap berdiri pada tahun 2007, sejak itu juga kualitas hidup masyarakat yang tinggal disekitar PLTU tersebut memburuk. Pada tahun 2009, penelitian kesehatan yang dilakukan oleh Greenpeace terhadap masyarakat yang bermukim disekitar PLTU Cilacap, menunjukkan hasil yang mencengangkan. Lebih dari 80% masyarakat yang tinggal disekitar PLTU Cilacap mengidap penyakit-penyakit yang terkait dengan pernafasan mereka, mulai dari ISPA, sampai ke radang paru-paru akibat terpapar debu batubara. Yang lebih menyedihkan adalah, lebih dari 80% anak balita yang tinggal disekitar PLTU, mengalami keterlambatan tumbuh-kembang dan mengalami berbagai penyakit yang disebabkan oleh kualitas udara yang sangat buruk di lingkungan mereka. Itu semua akibat tetangga mereka yang arogan, PLTU Cilacap.
Kisah tentang jejak kehancuran yang diakibatkan oleh batubara tidak hanya terjadi di negeri ini, tetapi terjadi juga diseluruh dunia. Bahan bakar terkotor di muka bumi ini masih terus digunakan, mulai dari Amerika Serikat, Inggris, India, Afrika Selatan, Thailand, sampai ke Cilacap di Indonesia. Kisah tentang jejak kehancuran yang diakibatkan oleh batubara adalah kisah yang identik hanya berbeda tempat kejadiannya.
Masyarakat di seluruh dunia yang menjadi korban dari bahan bakar terkotor di muka bumi ini, mulai berdiri, meminta tanggung jawab industri dan pemerintah mereka yang abai terhadap kelestarian lingkungan dan keselamatan rakyatnya. Masyarakat yang gagah berani di seluruh penjuru dunia mulai tegak menuntut hak mereka untuk hidup sehat dan bebas dari ancaman batubara yang mematikan.
Rakyat Indonesia juga harus tegak berdiri meminta pemerintah kita untuk segera melepaskan ketergantungan terhadap bahan bakar terkotor di planet ini. Masa depan yang aman dan sehat jelas hanya tinggal impian jika pemerintah terus melanjutkan kecanduannya yang berbahaya ini. Era batubara sudah berakhir, kini saatnya era energi yang tepat untuk peradaban modern, peradaban yang sehat dan bersih, peradaban yang akan ditenagai oleh energi terbarukan.
Sumber: Arif Fiyanto – Greenpeace Indonesia