EVY RACHMAWATI
PT Adaro Energy Tbk (Adaro) tadinya adalah perusahaan tambang batubara yang dikuasai asing. Kini, Adaro telah bertransformasi dari perusahaan pemegang perjanjian kontrak karya pengusahaan pertambangan batubara generasi pertama yang dikuasai asing menjadi perusahaan pertambangan batubara dan energi yang mayoritas sahamnya dimiliki pengusaha nasional.
Hal itu merupakan salah satu bukti bahwa di tangan pengusaha nasional, pengelolaan sumber daya alam bisa berjalan dengan baik. Bahkan, usaha terus berkembang dan memberikan nilai tambah.
Volume produksi batubara perseroan itu pun terus bertambah. Jika pada tahun 2004, volume produksinya baru 24,3 juta ton, pada tahun 2011 tercatat volume produksinya meningkat pesat menjadi 47,7 juta ton. Dengan volume produksi dan harga komoditas yang terus meningkat, perseroan itu membukukan laba bersih tahun 2011 sebesar 552 juta dollar AS (setara Rp 5,122 triliun) atau naik 124 persen dari laba bersih tahun sebelumnya.
Perseroan melalui anak perusahaannya memiliki sumber daya dan cadangan batubara masing-masing sebesar 4,6 miliar ton dan 1 miliar ton. Perseroan itu juga mengembangkan bisnis pembangkit listrik tenaga uap melalui anak usahanya dan bisnis logistik melalui anak usahanya Adaro Logistics.
Perkembangan raksasa batubara Indonesia itu tak lepas dari peran Garibaldi Thohir atau akrab dipanggil Boy Thohir, Chief Executive Officer (CEO) PT Adaro Energy Tbk. Pria kelahiran Jakarta, 1 Mei 1965, itu kini menuai hasil kerja kerasnya setelah jatuh bangun dalam menggeluti bisnis batubara. Berikut petikan wawancara dengan bapak dari tiga anak ini.
Bagaimana Anda bisa menggeluti bisnis batubara?
Pada tahun 2005, saya berkesempatan masuk Adaro yang dioperasikan New Hope, perusahaan asal Australia, dan saat itu hendak dijual. Saya mengajak Pak Teddy Rachmat, Pak Edwin Soeryadjaya, Pak Sandiaga Uno, dan Pak Benny Soebianto agar membentuk konsorsium baru untuk mengambil alih 100 persen Adaro dari asing. Ini seperti reuni para pendiri Astra. Uniknya, saya jadi pemegang saham termuda, mewakili bapak saya yang merupakan pendiri Astra paling senior.
Ini kesempatan pengusaha nasional untuk berperan di industri pertambangan, apalagi harga batubara membaik. Kami nekat saja. Padahal untuk bisa mengambil alih Adaro, butuh dana 1 miliar dollar AS (setara Rp 9,28 triliun), sementara kami hanya punya modal 50 juta dollar AS (setara Rp 464 miliar) sehingga kami butuh banyak pinjaman. Jadi kami mengajak beberapa lembaga investasi asing sehingga kami punya saham 65 persen dan konsorsium lembaga investasi asing 35 persen. Ini satu-satunya jalan agar kami bisa membeli aset terbaik ini dari tangan asing.
Bagaimana kiat Anda mengelola Adaro setelah mengambil alih dari pemilik lama?
Saya berterima kasih kepada senior-senior saya di Adaro, Pak Edwin, Pak Teddy, dan Pak Benny, yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk memimpin Adaro. Setelah mengambil alih Adaro, tentu saya mesti membayar utang. Saya optimistis, karena Indonesia kaya sumber daya alam dan sebelum diambil alih pun 90 persen tenaga kerja di Adaro adalah orang Indonesia. Hanya direksinya yang ekspatriat.
Begitu masuk Adaro, saya datang ke teman-teman di lapangan. Saya bilang, pertama, saya minta maaf, saya masuk sebagai pemilik dan direksi baru, tentu kalian senang karena saya orang Indonesia, tetapi saya punya utang. Jadi tolong bantu saya, kerja lebih baik dan jujur, karena itu aset kita. Kedua, kita pasti tidak mau perusahaan kolaps begitu dipimpin orang Indonesia. Agar harga diri kita jangan jatuh, mari kita bekerja sebaik-baiknya. Untuk para ekspatriat yang bisa bertahan, saya minta agar mengikuti cara saya. Ini menjadi kunci sukses Adaro pada fase pertama.
Sejak tahun 2005 sampai penjualan saham perdana ke publik (initial public offering/IPO) tahun 2008, kami harus berjuang, utang banyak, masalah pun banyak. Kekuatan kami adalah rasa kekeluargaan dan kebersamaan serta sistem nilai yang kami bangun, kita sentuh hati karyawan agar punya motivasi kuat untuk ikut membangun perusahaan.
Saya juga sangat percaya kredibilitas adalah segala-galanya, termasuk yang kami janjikan kepada investor asing. Lantas, saya putuskan akan membawa perusahaan ini menjadi perusahaan publik pada tahun 2008 dan agar saham Adaro bisa dimiliki publik.
Saya lalu membuat holding (perusahaan induk) baru, yaitu Adaro Energy. Di situ kami bertransformasi dengan visi menjadi perusahaan energi dan tambang terdepan di Indonesia. Untuk itu, kegiatan usaha harus terintegrasi, dengan memiliki tambang batubara, kontraktor sendiri, bisa mengapalkan dan memiliki pelabuhan sendiri, serta membangun pembangkit listrik agar bisa memberi nilai tambah. Kami menggarap proyek pembangkit listrik, yang terbesar adalah proyek PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) kapasitas 2 x 1.000 megawatt bersama beberapa mitra.
Apa harapan Anda terhadap Adaro?
Perjalanan kami belum selesai, belum cukup. Strategi utama yang diterapkan terdiri dari pertumbuhan organik dari cadangan yang ada, peningkatan efisiensi rantai pasokan batubara, peningkatan dan diversifikasi cadangan, produk dan lokasi, dengan menambah aset kami di Indonesia dan luar negeri. Saat ini saya mau fokus ke Indonesia. Dari hanya memiliki satu tambang, sekarang Adaro menggarap beberapa lokasi tambang, salah satunya di Kalimantan Tengah yang bermitra dengan BHP Billiton.
Industri tambang sering dianggap merusak lingkungan, bagaimana dengan Adaro?
Memang masih banyak kelemahan di industri tambang. Saya minta imbang saja, mereka yang nakal harus diberi sanksi. Adaro sendiri merupakan satu-satunya perusahaan tambang di Indonesia yang mendapat proper hijau empat kali berturut-turut.
Bagaimana komitmen Anda soal nilai tambah industri batubara?
Bagi kami, batubara merupakan produk akhir. Untuk memperoleh nilai tambah batubara, kami memutuskan mengembangkan usaha dengan membangun pembangkit listrik tenaga uap. Hal itu karena keberadaan pembangkit listrik ini akan menyerap batubara untuk kebutuhan domestik dan menimbulkan efek domino bagi perekonomian masyarakat.